Kamis, 18 Februari 2010

TAKE ME HIM OUT INDONESIA


TAKE ME HIM OUT INDONESIA, PLUS MINUSNYA PADA PERILAKU LIBERALISME
DI MASYARAKAT MODERN DALAM KONTEKS PRA NIKAH
Oleh: Imran Hanafi, S.Ag
(Penghulu KUA Kecamatan Pakong)


            Bingkai masyarakat modern dikitari oleh menipisnya rasa sungkanisme (rasa malu) atas privikasy dirinya walaupun harus dipublikasikan lewat media massa, bahkan media massa kerap menjadi mediator guna kepentingan mereka demi “ kebutuhan biologis” yang akan disalurkannya melalui “kontak jodoh”, dengan kemasan infotaiment mengundang aroma keterkaikan bagi para “pencari jodoh”, untuk mengikuti petualang cinta yang nantinya disalurkan dan terus berkelanjutan di kursi pelaminan. Salah satu kontak jodoh yang banyak diminati di layar kaca adalah Take Me Him Out Indonesia oleh Indosiar. Kontak jodoh yang dipandu oleh Choky Sitohang ini mampu meraup para jomblo, ekskutif muda, bahkan para janda muda dengan beragam latar belakangnya. Latar profil “pencari jodoh” diacara ini diungkap tuntas oleh sang Choky, mulai dari latar keluarga, status diri (jejaka/perawan/duda/janda), profesi, bahkan masa silam mereka dengan kemasan apik sehingga memukau hari pemirsa terkesima menyaksikannya. Perilaku masyarakat modern ini, patut dicermati ke permukaan baik dari aspek sosio cultur maupun dari sisi agama.

Tinjauan Agama Dan Sosio Kultur

            Telaah syar`i maupun fiqih islami yang merupakan interpretasi dari teks nash, contoh kasus kontak jodoh ala indosiar ini adalah bagian variabel “khitbah” yang oleh golongan fuqoha` didefinisikan sebagai ikatan-ikatan pranikah agar kedua catin (calon pengantin) saling mengenal dan secara syar`i catin pi (calon pengantin putri) tidak boleh menerima tunangan lelaki lain, “bagian dari” khitbah karena pada kasus kontak jodoh ala indsiar ini secara faktual tidak ada ikatan syar`i hanya terbatas pada pengenalan masing-masing “pencari jodoh” itu, tak ayal ikatanpun bisa di tengah jalan sebelum menginjak ke jenjang pelaminan. Saling mengenal profil masing-masing calon, bergandeng teman, selanjutnya terserah mereka kemana arah perkenalan berlabuh, di pelaminankah atau disambar kepuasan nafsu belaka? Setelah menggandeng “pasangan idaman”, tidak ada ikatan apapun melekat pada mereka dan tidak ada penelitian oleh “mediator penjodoh” tadi untuk dikondisikan secara legal formal pada ikatan pernikahan, hanya semacam ta`aruf menuju jenjang pernikahan. Secara sosio kultur kasus ini menjadi ajang temali “ikatan sosial” dengan bingkai kultur modern, “bebas lepas” galian profilnya hanya berupa potensi profil diri. Namun secara syar`i-pun patut diacungi jempol kontak jodoh ala indosiar ini telah membantu para wali catin (calon pengantin) memberikan karena faktanya para pendaftar berkisar antara 20-40 tahun laki-laki maupun perempuan. Sebuah kisaran umur yang sangat pantas melaksanakan sunnah rasul sesuai anjuran beliau :”Bahwa salah satu kewajiban orang tua adalh mengawinkan putra-putrinya setelah masanya”. Hal ini menjadikan kontak jodoh berbias positif yang pancarannya diharapkan kebahagiaan bersama menuju jenjang pernikahan. Paling tidak, “ketertundaan pernikahan” yang menjadi sebab bagian dari stress menjadi obat penawar, karena didalam unsur pernikahan ada nilai rekreatif bahkan menjadi spirit bagi ketenangan jiwa. Hal ini pula selaras dengan ungkapan Al- Ghazali dalam “Ihya Ulumuddinnya” pada bab risalatun nikah bahwa salah satu hikmah pernikahan adalah “Tadbiirul Manzil” (ketenangan rumah tangga). Selain faktor-faktor seperti “Hifdzu Nashal”(melestarikan keturunan”. Dalam konteks ini Emile Durkheim, pakar sosiologi asal Prancis ini melakukan penyelidikan atas gejala-gejala orang bunuh diri. Dari survey yang dilakukannya, dia menemukan data yang mengejutkan. Data tersebut menunjukkan bahwa angka bunuh diri orang-orang yang belum menikah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka bunuh diri orang yang sudah menikah. Selain itu, angka bunuh diri orang yang sudah menikah tapi belum punya naka jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka bunuh diri orang yang sudah menikah dan punya anak. Atas penemuan data itu, Durkheim pun mencari penjelasan logis, menurut dia cinta yang dimiliki seseorang mampu menahan stress yang menimpa dirinya. Cinta itu pulalah yang menghambat keinginan bunuh diri. Itulah komentar Mashuni Kartubi dalam bukunya “Menikah Itu Indah” halaman 3 dan 4, terbitan Isan Madani tahun 2007.
            Demi berlabuhnya rangkai temali cinta ini, fuqoha` pun memperbolehkan melihat wajah catin pi (calon pengantin putri) sebelum menikah auratnya di wajah, tangan dan kaki. Teks fuqoha` ini oleh pelaku media massa diterjemahkan dengan bahas infotainment dengan kemasan “kontak jodoh”, seperti yang di prakarsai oleh indosiar bertajuk “Take Me Him Out” Indonesia. Saling mengenal di pranikah agar saling kasih-mengasihi, cinta menyayangi sesuai anjuran rasul :”Kawinkanlah mereka yang saling mencintai”. Cinta inilah modal gapaian “Mawaddah wa Rahmah”. Didalamnya ada kekuatan spiritulitas yang tak tertandingi oleh materi sekalipun, menjadi tenang tatkala gelisah, menjadi obat tatkala sakit. As-Syafi`i pernah menggunakan teraphy ini sebagai metode psikis bagi seorang pasien wanita yang sakit hampir sakarat menemui ajalnya, dengan pendekatan (bimbingan) sang pasien akhirnya mengungkap isi hatinya, bahwa dalam hidupnya dia terkagum dan sangat mencintai begitu mendalam pada seorang pemuda idaman. Ungkapan sang pasien inilah mendorong As-Syafi`i beranjak mencari pria idaman untuk dipertemukan dengannya. Wal-hasil sembuhlah dia setelah bertemu pria idaman hatinya yang lama gundah gulana karena lama tak bertemu.

Plus Minus Kontak Jodoh

            Take me Him Out Indonesia, kontak jodoh ala indosiar ini sangatlah transparan sampai-sampai ”pencari jodoh” itu terkelupas-lepas dari kulitnya tanpa tendeng aling-aling, blak-blakan, oleh si pemandu acara dibahas sampai akarnya, hingga masa lalu kelamnya di petualang dan pengembaraan cinta mereka,status,profesi, latar keluarga, dan bahkan orang tua mereka dihadirkan apakah nanti mereka saling mencintai, apakah orang tuanya merestui keduanya atau sebaliknya. Dalam konteks ini kontak jodoh yang satu ini terdapat unsur positifnya bagi masing-masing pasangan. Terlebih pernikahan merupakan “ikatan kokoh” yang dikokohkan dengan “tali batin” mendalam dan tentunya legalitas itu dibuktrikan dengan data otentik dengan akta nikah. Kontak jodoh ini ternyata mendapat respon positif di masyarakat, terbukti yang mendaftar sekali episode berkisar antara 30 sampai 100 orang lebih. Fenomina sosial masyarakat modern ini alangkah bijak bila pihak media massa menggandeng departemen terkait seperti Depag, Dinkes, dan catatan sipil sebagai upaya komunikasi lintas sektoral bagi tergapainya program-program pemerintah, terutama  dibidang pernikahan. Tujuan pernikahan pun tercapai manakala mengikuti prosedur yang berlaku sesuai undang-undang perkawinan tahun 1974, pasal 1, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin dengan seorang  wanita sebagai suami istri denga tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa, dengan kata lain keluarga yang dibentuk dari perkawinan tersebut merupakan keluarga bahagia dan sejahtera lahir batin.
Selanjutnya pada BAB III pasal 3 tentang petunjuk pelaksanaan pembinaan gerakan keluarga sakinah menyatakan bahwa, keluarga sakinah :”keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya, dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Kata kunci dari undang-undang no.1 tahun 1974 dan petunjuk pelaksanaan pembinaan gerakan keluarga sakinah BAB III pasal 3 oleh Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji bahwa keluarga sakinah tergapai manakala :1) mampu membahagiakan keluarga yang sejahtera lahir dan batin, 2) mampu mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan.
            Pada kontak jodoh, Take Him Out Indonesia ala indosiar itu , kemasan suguhan berkisar hanya pada aspek-aspek material berupa profesi “pencari jodoh” dan tidak mengedepankan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan sembari mengumbar tampilan yang vulgar, bahkan agar liberal, berpotensi terjadinya perkawinan lintas agama. Sementara oleh agama islam perkawinan lintas agama ini tidak diperkenankan, karena akan memicu ketidakharmonisan rumah tangga. Bahkan mayoritas fuqoha` di kitab mu`tabaroh keagamaan adalah prioritas yang tak boleh dikesampingfkan. Mereka fuqoha` memasukkan syarat kafa`ah yang menjadi acuan adalah agama.

Takhtim

            Apapun media kontak jodoh oleh media massa bagi legalitas syar`i dan hukum positif bila dikemas dengan baik, terarah dan obyektif tentunya tidak menfikan nilai-nilai agama didalamnya. Mashur Kartubi memberikan applus positif, bahwa Allah telah menunjukkkan jalan terbaik bagi kita, jal;an itu bernama”pernikahan” . Allah SWT telah menganugerahkan kepada kita rasa suka kepada lain jenis, rasa suka tersebut merupakan rasa yang begitu indah, tak tertuliskan dengan kata-kata. Atas anugerah semacam itu semestinya kita tidak menyelewengkan dengan mengumbar kepada semua orang. Kontak jodoh itu harus ada aplikasi taktis ke jenjang pernikahan. Tidak seperti prilaku sebagian masyarakat modern terutama di Eropa. Dimana kontak jodoh jadi ajang pelampiasan nafsu, setelah manis sepah dibuang, setelah saling kenal lewat kontak jodoh tak ada ujung positifnya menuju bahtera rumah tangga. Selebihnya Wallaahu a`lam bis Showab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar